Wednesday, November 30, 2016

Anodontia

Pengertian
Anodontia merupakan suatu keadaan dimana benih gigi tidak terbentuk sama sekali. Meskipun semua gigi sulung terbentuk dalam jumlah yang tepat, anodontia dapat terjadi pada periode gigi tetap/ permanen. Namun sebenarnya kondisi ini sangat jarang terjadi.
Biasanya anodontia melibatkan baik gigi susu maupun gigi tetap. Namun sebagian besar kasus ditemukan anodontia yang terjadi pada gigi tetap. Kondisi ini sering dikaitkan dengan sindrom pada saraf, yaitu ektodermal displasia dan kelaian pada kulit.
Gangguan ini dapat menyebabkan terjadinya komplikasi berupa kesulitan dalam aktivitas yang melibatkan fungsi gigi. Misalnya seperti pengunyahan, bicara, dan juga gangguan estetis.
Diagnosis
Penentuan diagnosis anodontia atau benih gigi tidak ada biasanya melibatkan pemeriksaan radiografik. Tujuannya untuk memastikan semua benih gigi memang benar-benar tidak terbentuk.
Gejala
Gejala anodontia atau benih gigi tidak ada ditandai dengan tidak terbentuknya semua gigi. Biasanya gejala ini lebih sering mengenai gigi tetap dibandingkan gigi sulung.
Pengobatan
Lakukan konsultasi dengan dokter gigi sedini mungkin bila terdapat kecurigaan terjadinya kelainan anodontia atau benih gigi tidak ada. Perawatan yang biasanya diberikan oleh dokter gigi adalah pembuatan gigi tiruan.
Penyebab
Pada penderita anodontia atau benih gigi tidak ada terkadang ditemukan sebagai dari suatu sindroma. Seperti kelainan yang disertai dengan berbagai gejala yang timbul secara bersamaan. Misalnya pada sindroma Ectodermal dysplasia.

x
x





 
 
 
 
 
 
 
Menentukan diagnosis batuk rejan pada tahap awal sulit dilakukan. Sebab tanda dan gejalanya dapat serupa dengan penyakit saluran pernapasan lainnya, seperti common cold, influenza, dan bronkitis.
Umumnya, tahap awal dari diagnosis batuk rejan adalah melalui wawancara medis dan pemeriksaan fisik secara langsung oleh dokter. Pemeriksaan darah dan rontgen paru-paru dapat dilakukan untuk melihat adanya tanda infeksi atau inflamasi (peradangan).
Setelahnya, bila dibutuhkan, diagnosis dari batuk rejan dapat d
Dari Center for Disease Prevention and Control (CDC), pasien yang mengalami batuk lebih dari 3 minggu disarankan untuk menjalani pemeriksaan tersebut.

Gejala

Gejala pada batuk rejan umumnya berlangsung selama 6 minggu, dan dibagi menjadi 3 fase, yakni fase catarrhal (fase awal), fase paroksismal, dan fase konvalesens (fase penyembuhan), yang masing-masing dapat berlangsung selama setidaknya 1–2 minggu.
Pada fase catarrhal, gejala yang timbul dapat serupa dengan seseorang yang mengalami common cold, yakni berupa sumbatan pada hidung, pilek, bersin-bersin, serta mata merah. Demam juga dapat terjadi pada fase ini, dengan suhu tubuh yang sedikit meningkat.
Setelahnya, fase paroksismal ditandai dengan adanya gejala batuk terus-menerus yang diikuti oleh suara tarikan nafas yang khas. Batuk-batuk umumnya berlangsung selama beberapa menit dan lebih sering terjadi pada malam hari.
Selain itu, wajah juga menjadi tampak kemerahan akibat batuk-batuk yang hebat, disertai oleh mata yang tampak merah. Pada anak, kulit juga dapat tampak kebiruan bila batuk terjadi terus-menerus dan diikuti oleh kesulitan bernapas.
Selain itu, batuk-batuk yang terjadi juga dapat mengeluarkan dahak yang disertai muntah. Pada remaja atau orang dewasa, suara tarikan nafas yang khas tidak selalu timbul.
Fase konvalesens ditandai dengan batuk berkepanjangan yang perlahan-lahan mulai mereda, namun bisa menetap selama berminggu-minggu.
Bila tidak ditangani, batuk rejan dapat menimbulkan komplikasi, terutama pada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun.
Beberapa komplikasi yang dapat timbul adalah kekurangan cairan dalam tubuh (dehidrasi), kesulitan bernafas, penurunan berat badan, pneumonia (infeksi pada paru-paru), kejang, gangguan ginjal, dan kurangnya pasokan oksigen ke otak.
Untuk mencegah timbulnya komplikasi tersebut, seseorang yang diduga mengalami batuk rejan disarankan untuk segera berkonsultasi dengan dokter guna dilakukan evaluasi lebih lanjut.

Pengobatan

Tujuan dari penanganan pada batuk rejan adalah untuk membatasi atau meminimalkan terjadinya fase paroksismal, menangani keluhan batuk yang mengganggu, serta memaksimalkan asupan nutrisi, istirahat, dan proses penyembuhan.
Pengobatan batuk rejan dapat menggunakan obat-obatan antimikroba atau antibiotik untuk mempercepat pemusnahan bakteri penyebab, serta mencegah penyebaran penyakit.
Selain itu, pengobatan dapat juga diberikan untuk mengatasi gejala batuk, pilek, atau demam yang timbul. Namun, penggunaan obat-obatan tentu harus sesuai dengan indikasi dan resep dari dokter.
Seseorang yang mengalami batuk rejan disarankan untuk beristirahat yang cukup, memastikan bahwa asupan cairan tubuh tercukupi, serta yang terpenting adalah berkonsultasi dengan dokter.
Pemeriksaan oleh dokter dilakukan melalui wawancara medis dan pemeriksaan fisik secara langsung untuk menentukan diagnosis dan penanganan yang sesuai.

Pencegahan

Pencegahan dari penyakit batuk rejan adalah dengan imunisasi DPT(difteri, pertusis dan tetanus), yang dapat diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan (atau 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan, sesuai program yang dilaksanakan).
Selanjutnya, pengobatan dapat diteruskan dengan imunisasi booster pada usia 15–18 bulan dan 4–6 tahun.
Selain itu, pencegahan dari penularan batuk rejan juga dapat dilakukan dengan cara menutup hidung dan mulut setiap kali batuk atau bersin, membuang tisu yang digunakan segera, dan mencuci tangan secara rutin dengan air dan sabun.

0 comments:

Post a Comment